Tuesday, October 4, 2016

14 Hari Untuk Selamanya (Bagian 3)

pemalas, tukang madat, pemokel
ketok manis kabeh padahal ga adus
mokel gak mokel seng penting ngumpul
bersama panita pemenangan lurah sidowangi 2098
deklarasi lurah sidowangi 2098 - kiamat
III.
Balada Pendosa dan Kelelawar

Saya sempat bingung tatkala memesan seporsi mie ayam. Mie ayam versi emak beda dengan versi yang saya kenali: mie ayam Emak adalah mie tanpa mie gepeng, tanpa irisan daging ayam, tanpa kuah yang berminyak, tanpa irisan acar, tanpa potongan-potongan kerinduan, tanpa kaldu kenangan—dan Emak masih menyebutnya mie ayam. Tapi mie ayam ini setidaknya selalu membuat orang-orang sejenak pikun. Mereka lupa jika siang itu bulan Ramadan. Mereka lupa apa yang wajib dilakukan di bulan ini agar lebaran yang tinggal beberapa hari bisa disebut afdol. Dan bahkan mereka lupa bahwa mie ayam yang sedang mereka makan bukanlah benar-benar mie ayam.*

Siklusnya dimulai beberapa saat menjelang bedug dhuhur, sampai jelang bedug ashar: mendahului waktu berbuka yang telah disepakati milyaran umat sedunia. Saya tersadar bahwa ternyata memakan mie ayam juga termasuk pemberontakan. Ini ramadan paling heavy metal.

Hengki, wakil ketua, juga adalah pendosa amatir nomor satu. Dia yang menemukan tempat kecil disebelah gang, yang kemudian kita namai sebagai warung emak. Disini malaikat pencatat amal keburukan bekerja dengan ekstra keras karena tidak ada satupun yang menjalankan kewajiban berpuasa. Saya sempat takut kalau-kalau ada pasukan putih-putih nasi bungkus yang gemar membawa pentungan dan razia warung saat puasa tiba-tiba saja menyergap dan mengkafirkan kami; dan mungkin kami akan dijuluki sebagai bangsat liberal, komunis, antek-antek PKI, yahudi, gay, lesbi, penyembah LaVey dan sebagainya. Tapi untungnya tidak pernah ada. Terimakasih Mojokerto sudah menghormati kaum-kaum bingung yang belum sanggup berpuasa seharian penuh.

Hengki—yang mengaku sebagai pegawai Matahari Surabaya untuk menutupi kedok mokel—pernah dan seringkali mokel di jam-jam yang tidak semestinya. Waktu mokel yang disepakati bajingan pada umumnya adalah di pertengahan hari, saat waktu sedang terik-teriknya dan semua orang berpikiran bahwa pemandangan paling indah adalah es teh berwarna kecoklatan dan suara paling ditunggu adalah denting sendok bertemu gelas saat mengaduknya. Tapi Hengki bukanlah orang pada umumnya.

“Rusuh tenan to, tempat iki! Perlu diberesin!” ujar Hengki di suatu hari di pukul setengah delapan pagi.

Teman-teman tentu saja tidak mempedulikan dengan serius; beberapa masih tidur. Ini pukul setengah delapan pagi dimana balas dendam bangun sahur dilampiaskan dengan tidur tak peduli waktu. Hengki mengulang-ulang terus pernyataannya untuk membereskan dan limabelas menit kemudian kita akan sadar: bakul nasi, piring, dan wadah makanan sisa sahur telah raib. Para perempuan yang ditugasi memasak nasi di magic com sewaktu sahur untuk makan para perempuan yang tidak sedang berpuasa—you know what-lah—tiba-tiba geger.

“Lho, segone maeng penuh loh! Sek akeh. Kok berkurang?” ujar Ayuk, salah satu pemegang tampuk kuasa seksi konsumsi yang berbakat mengolah tempe menjadi beraneka macam sajian utama. Yoi, tempe!

Kita flashback sejenak, mengundurkan waktu dan tempat, karena Hengki memang membereskan makanan-makanan itu, membawanya ke dalam kamar: membereskan versi Hengki bisa juga memulai sarapan di saat pagi bulan Ramadan. Asu. Selanjutnya tanpa rasa berdosa sedikitpun ia juga pernah mengajak saya—kedoknya disuruh mengantar—mencari makan di pukul tiga sore. Saya belum batal hari itu, seharian tiduran dan tidak ada aktivitas berarti. Energi masih tersisa dan seharusnya cukup sampai berbuka. Saya bisa puasa full hari ini. Persetan mokel. Enyah kau setan. Tapi tak dinyana setannya menjelma di tubuh kerempeng anak ini.

“Ayo, peseno sisan! Tak bayari.” Hengki menawari saya saat di warung bakso. Sialan. Anjing.

Saya tentu saja menggeleng. Iman saya kuat bung. Bakso Hengki kemudian sudah ada di meja saja. Bundar-bundar, banyak. Pentol ajaib. Asoy. Tambah saos, kecap, sambal. Memuaskan cacing di perutmu. Sialan. Saya, tiba-tiba kehilangan kesadaran.

“Heng, aku pesen sisan wis yo!” dan saya melakukan kebodohan dan dosa di pukul tiga sore—tinggal dua jam setengah lagi waktu berbuka. Kambing. Puasa saya remuk berkeping-keping.

Hengki, tertawa menjadi-jadi. Ini aib seorang yang mencoba alim yang dirusak perusuh cacingan tak bermoral.

Astagfirullah...

***
Aktivitas siang hari dari Tim KKN 145 adalah istirahat seusai kegiatan. Biasanya karena ini bulan puasa, teman-teman memanfaatkannya dengan tidur berpahala. Tapi bagi bocah-bocah tak tahu diuntung macam saya, Hengki, Ikbal, Tyo, dan Breng, ini adalah saat yang tepat untuk berbuka puasa.

“Wis bedug! Ayo nge-pom!” ujar Breng.
“Sekarang ta Breng? Tunggu, aku mandi dulu!” jawab Ikbal

Istilah ngepom dikenal sebagai motor diisi bensin di SPBU terdekat. Tapi bagi kaum pendosa macam kami, ngepom bisa berkonotasi bukan hanya pada sepeda motor: tapi juga pada perut. Cara penjahat untuk menyamarkan apa yang akan dilakukannya. Biasanya teman-teman akan bertanya.

“Pada mau kemana ini?”
“Ngepom!” jawab kami.

Orang awam akan berpikir kami mengisi bensin untuk motor di pom dekat situ. Tapi bagi yang sudah paham akan segera menyahut.

“Iyo, pom weteng!” ujar Mak Lay—atau Layla, ibu tiri cerewet kami di 145.
“Isien pertamax, ojo sego campur!” ujar some random friends di ujung sana.
“Aku titip bungkusno!” ujar pendosa abu-abu yang tak mau repot.

Kami biasa berboncengan ke ‘pom’ kami: warung emak. Dan seperti dituliskan diatas, salah satu menunya adalah ‘so called’ mie ayam atau pangsit—whatever! Kita selalu disana berlama-lama. Memesan minum dengan porsi jumbo—emak sudah hapal sekali pada hal ini—dan kemudian kadang juga menu nasi dengan lauk yang kadang, karena saking baik hatinya emak, digorengkan live di tempat kejadian perkara.

“Mak, lauk telur ada?” tanya Ikbal.
“Endog? Dorong nggoreng! Opo gelem tak gorengno sek a diluk?” jawab Emak.

Ikbal tentu mengangguk kegirangan.

Kretek atau udud atau apapun itu yang penting bukan racun vaporizer kami bagi disitu. Kecuali Tyo yang tidak merokok, aktivitas penuh asap di tengah bulan Ramadan adalah ritual kami yang konstan dilakukan sewaktu KKN. Saya sempat berpikir akan nikmat menikmati Dji Sam Soe di tempat sesejuk Mojokerto—terutama waktu malam. Ternyata tetap tidak ada yang bisa mengalahkan Gold Lights Marlboro. Tentu saja. kadang ini juga digilir dengan kretek atau mild yang cukup untuk membunuh malam.

Setidaknya seperi itulah aktivitas siang hari. Karena setelah itu kita bobo-bibi sampai jelang maghrib. Dan malamnya, khususnya saya dan Ikbal, menjadi kelelawar. Ikbal mencari tempat untuk bermain Dota, dan tentu saja harus ada wifi-nya. Akhirnya di daerah Canggu kami menemukan satu warkop yang memenuhi kebutuhan: wifi-nya sengebut serigala bahkan sama dengan Surabaya atau kadang malah lebih cepat. Tempat yang asoy dengan TV kabel. Meski minumanya biasa-biasa saja. Saya dan Ikbal biasa disana mulai pukul sebelas-dua belas malam, sampai jam tiga lebih disaat sahur. Aktivitas nokturnal yang tak jauh beda dengan kehidupan kuliah sialan sehari-hari.

***
Saya dan Ikbal juga sempat mengunjungi salah satu desa di Mojokerto tempat pacar Ikbal KKN. Kami melewati hutan galak yang bahkan sudah amat gelap di pukul tujuh malam. Anjing. Saya yang waktu itu bertugas membaca peta sempat ketar-ketir: takut kena begal penjahat-penjahat ninja disana. Tapi toh karena memang nekat, dan Ikbal sudah kangen berat dengan si doi, kami berkunjung di basecamp tim KKN yang ternyata lebih busuk dan anjing dari tempat KKN kami: desa terbelakang, jalan bergelombang, hawa pengap, anjing seanjing-anjingnya. Disana saya bertemu dengan Adelia dan Shom, sobat sejurusan sastra yang juga sekelompok dengan pacar Ikbal. Tapi, waktu reuni kami tidak bisa berlama-lama. Begitu pula waktu kencan Ikbal. Ada rapat dadakan membahas hal yang ‘amat sangat penting’ kata ketuanya sehingga kita hanya lima belas menitan menemui handaitaulan itu. selebihnya kita ngaplo—dan untung saja disuguhi kopi—dan saya kembali berdua menghitung nyamuk dengan Ikbal. Setelah sejam setengah lebih menunggu dan rapat belum usai juga sementara waktu menunjukkan pukul sembilan, kita tahu kiranya apa yang harus dilakukan sekarang mengingat ada hutan keparat yang kemungkinan besar berisi bajingan-bajingan yang siap mengintai jika saja kita pulang terlalu malam.

Alhasil saya dan Ikbal pun pamit, memacu motor dengan beringas lagi, sampai di hutan, terkaget karena rintik-rintik gerimis mulai terasa. Asu. Ini tidak boleh terjadi. Hujan sekarang adalah petaka. Bisa mampus kalau harus berhenti. Bisa bahaya juga kalau terus melaju. Tapi toh Tuhan menyayangi para perjaka. Ia tidak menurunkan Mikail di hutan. Ia menurunkannya tepat saat hutan selesai kita lewati, dan kita akan menuju ke basecamp dimana kita tinggal. Lebih ajaib lagi, kita berhenti dan terpaksa berteduh di warung kopi—yang jujur awalnya saya kira diskotik atau rumah bordil—yang ngehip dengan lampu mencolok warna-warni. Perkenalkan, penjualnya bernama, ehm, saya lupa, tapi dia selalu bilang ‘Beta’ terus menerus (yang berarti ‘saya’), dan mari kita tebak kira-kira dari mana asalnya. Beta, orang Nusa Tenggara!

Malam yang sulit. Hujan sederas air susu ibu menyapu kerongkongan bayi. Warung Beta tidak seramai kerlip lampunya: yang ada hanyalah pria botak yang memesan kopi hitam dan kretek, sepertinya anggota marinir. Dan kami berdua yang sedang kedinginan efek udara dan gerimis. Untung Ikbal mengambil Surya, dan jadilah kita berasap bersama dengan kopi yang sudah dipesan. Alamat nanggung, kami menyerah dan memesan Indomie juga. Dan  memprihatinkannya, saya juga sempat eek di toilet belakang warung Beta. Benar-benar.

Hujan mereda. Kami sadar bahwasanya gelas kopi kami telah kosong. Pun Surya yang tinggal beberapa batang. Ada saatnya kita harus pamit setelah membayar.

“Oom, kita balik dulu, yah!” ujar saya.
“Oh, Okey! Kapan-kapan main kesini lagi, ya! Beta tunggu!” ujar Beta.
“Siapppp, Om!” jawab saya.

Tinggal hanya memacu motor karena Ikbal sudah menstarter. Tapi Beta keluar warung seperti ingin melakukan perpisahan terakhir, mengantar sampai ke depan. Dia melihat plat motor saya.

“Plat N? Lho kamu dari Malang?” ia bertanya.
“Oh endak Oom, dari Surabaya, mahasiswa KKN Oom.” jawab saya sekenanya.
“Oh dari kampus mana? Saya suka anak KKN, disini juga banyak anak KKN, mereka biasanya ngopi disini. Saya kenal mereka semua. Mereka dari universitas mana, saya lupa. Tapi mereka selalu mampir kesini!” ujar Beta. Antusiasmenya tiba-tiba saja melonjak.
“Oh, masak Oom?” jawab saya. Mau basa-basi apalagi. Ikbal belum mematikan mesinnya padahal idola Ambon ini sedang bercerita.

“Iya, hampir tiap hari mereka kemari. Ini saja tidak datang, mungkin hujan. Aku selalu respect sama mahasiswa, harga-harga disini semuanya kuturunkan. Jadi beda antara orang biasa yang minum kopi, dengan mahasiswa. Kopi untuk orang biasa, lima ribu. Tapi untuk mahasiswa, aku bilang sama istriku juga, agar menjualnya tiga ribu saja. Pun mie goreng, dan menu lain. Kasian, mereka belum bekerja.”

Bangsat. Kenapa tidak bilang dari tadi Beta. Tahu begitu aku bilang kalau aku ini mahasiswa, jadi harga bisa sedikit lebih murah. Tapi barusan kamu sudah tahu Beta kalau aku ternyata mahasiswa, kenapa tak kau kembalikan separuh uangku. Ah gimana kau Beta!

“Kalian KKN deket sini-kah?” Beta melanjutkan. “Biar aku kasih tahu, rumahku itu di gang depan sebelah kanan, kiri jalan ada namanya Salon Bunda. Kalian aku undang buka puasa besok kerumah, tiap hari pun, kalau kalian sempat, silakan buka puasa disini. Anak-anak KKN pelanggan warkopku ini kemarin sering buka puasa dirumah. Aku tidak apa-apa, istriku juga, malah senang bisa saling berbagi.” Ujar Beta.
“Wah, siap Om! Kalau sempat tak mampir.” Jawab saya.
“Harus itu! Salon Bunda ya. Inget!” tanya Beta.
“Oh, sip-sip! Inget. Suwun Om!” saya berkata sambil naik motor. 

Ini adalah gestur untuk memulai berpisah. Tapi gobloknya saya basa-basi lagi.

“Kalau ini Ikbal, temen saya, anak Pamekasan, Oom!” ujar saya sambil menepuk pundak Ikbal. Dia hanya tertawa sambil sibuk mengepul Surya.

“Oh Pamekasan!” ujar Beta seperti menemukan harta karun. “AKU PERNAH DISANA DUA TAHUN, KERJA DI PABRIK GULA!”

Bajingan. Ikbal tiba-tiba langsung mematikan mesin motor. Seperti menemukan satu teman dengan topik paling menarik sedunia. Dan dimulailah sesi curhat jilid dua. Tak ada pilihan lain: nyalakan sejumput tembakau. Busshhhhhhhh!

Malam ini sepertinya akan panjang.

*mengadopsi Martin Suryajaya dalam Kiat Sukses Hancur Lebur, di sebuah bab tentang pecel lele.

(bersambung)

1 comment:

  1. Ikutan nongkrong yuk , bisa nonbar bareng kawan n seru seruan bareng F4n588371n9 :)

    ReplyDelete