pemalas, tukang madat, pemokel |
ketok manis kabeh padahal ga adus |
mokel gak mokel seng penting ngumpul |
bersama panita pemenangan lurah sidowangi 2098 |
deklarasi lurah sidowangi 2098 - kiamat |
III.
Balada
Pendosa dan Kelelawar
Saya
sempat bingung tatkala memesan seporsi mie ayam. Mie ayam versi emak beda
dengan versi yang saya kenali: mie ayam Emak adalah mie tanpa mie gepeng, tanpa
irisan daging ayam, tanpa kuah yang berminyak, tanpa irisan acar, tanpa
potongan-potongan kerinduan, tanpa kaldu kenangan—dan Emak masih menyebutnya
mie ayam. Tapi mie ayam ini setidaknya selalu membuat orang-orang sejenak
pikun. Mereka lupa jika siang itu bulan Ramadan. Mereka lupa apa yang wajib
dilakukan di bulan ini agar lebaran yang tinggal beberapa hari bisa disebut
afdol. Dan bahkan mereka lupa bahwa mie ayam yang sedang mereka makan bukanlah
benar-benar mie ayam.*
Siklusnya
dimulai beberapa saat menjelang bedug dhuhur, sampai jelang bedug ashar: mendahului
waktu berbuka yang telah disepakati milyaran umat sedunia. Saya tersadar bahwa
ternyata memakan mie ayam juga termasuk pemberontakan. Ini ramadan paling heavy
metal.
Hengki,
wakil ketua, juga adalah pendosa amatir nomor satu. Dia yang menemukan tempat
kecil disebelah gang, yang kemudian kita namai sebagai warung emak. Disini
malaikat pencatat amal keburukan bekerja dengan ekstra keras karena tidak ada
satupun yang menjalankan kewajiban berpuasa. Saya sempat takut kalau-kalau ada
pasukan putih-putih nasi bungkus yang gemar membawa pentungan dan razia warung
saat puasa tiba-tiba saja menyergap dan mengkafirkan kami; dan mungkin kami
akan dijuluki sebagai bangsat liberal, komunis, antek-antek PKI, yahudi, gay,
lesbi, penyembah LaVey dan sebagainya. Tapi untungnya tidak pernah ada.
Terimakasih Mojokerto sudah menghormati kaum-kaum bingung yang belum sanggup
berpuasa seharian penuh.
Hengki—yang
mengaku sebagai pegawai Matahari Surabaya untuk menutupi kedok mokel—pernah dan
seringkali mokel di jam-jam yang tidak semestinya. Waktu mokel yang disepakati
bajingan pada umumnya adalah di pertengahan hari, saat waktu sedang
terik-teriknya dan semua orang berpikiran bahwa pemandangan paling indah adalah
es teh berwarna kecoklatan dan suara paling ditunggu adalah denting sendok
bertemu gelas saat mengaduknya. Tapi Hengki bukanlah orang pada umumnya.
“Rusuh tenan to, tempat
iki! Perlu diberesin!”
ujar Hengki di suatu hari di pukul setengah delapan pagi.
Teman-teman
tentu saja tidak mempedulikan dengan serius; beberapa masih tidur. Ini pukul
setengah delapan pagi dimana balas dendam bangun sahur dilampiaskan dengan
tidur tak peduli waktu. Hengki mengulang-ulang terus pernyataannya untuk
membereskan dan limabelas menit kemudian kita akan sadar: bakul nasi, piring,
dan wadah makanan sisa sahur telah raib. Para perempuan yang ditugasi memasak
nasi di magic com sewaktu sahur untuk makan para perempuan yang tidak sedang
berpuasa—you know what-lah—tiba-tiba geger.
“Lho, segone maeng penuh
loh! Sek akeh. Kok berkurang?”
ujar Ayuk, salah satu pemegang tampuk kuasa seksi konsumsi yang berbakat
mengolah tempe menjadi beraneka macam sajian utama. Yoi, tempe!
Kita
flashback sejenak, mengundurkan waktu dan tempat, karena Hengki memang
membereskan makanan-makanan itu, membawanya ke dalam kamar: membereskan versi
Hengki bisa juga memulai sarapan di saat pagi bulan Ramadan. Asu. Selanjutnya
tanpa rasa berdosa sedikitpun ia juga pernah mengajak saya—kedoknya disuruh
mengantar—mencari makan di pukul tiga sore. Saya belum batal hari itu, seharian
tiduran dan tidak ada aktivitas berarti. Energi masih tersisa dan seharusnya cukup
sampai berbuka. Saya bisa puasa full hari ini. Persetan mokel. Enyah kau setan.
Tapi tak dinyana setannya menjelma di tubuh kerempeng anak ini.
“Ayo, peseno sisan! Tak bayari.” Hengki menawari saya saat di warung
bakso. Sialan. Anjing.
Saya
tentu saja menggeleng. Iman saya kuat bung. Bakso Hengki kemudian sudah ada di
meja saja. Bundar-bundar, banyak. Pentol ajaib. Asoy. Tambah saos, kecap,
sambal. Memuaskan cacing di perutmu. Sialan. Saya, tiba-tiba kehilangan
kesadaran.
“Heng, aku pesen sisan
wis yo!” dan saya
melakukan kebodohan dan dosa di pukul tiga sore—tinggal dua jam setengah lagi
waktu berbuka. Kambing. Puasa saya remuk berkeping-keping.
Hengki,
tertawa menjadi-jadi. Ini aib seorang yang mencoba alim yang dirusak perusuh
cacingan tak bermoral.
Astagfirullah...
***
Aktivitas
siang hari dari Tim KKN 145 adalah istirahat seusai kegiatan. Biasanya karena
ini bulan puasa, teman-teman memanfaatkannya dengan tidur berpahala. Tapi bagi bocah-bocah
tak tahu diuntung macam saya, Hengki, Ikbal, Tyo, dan Breng, ini adalah saat
yang tepat untuk berbuka puasa.
“Wis bedug! Ayo nge-pom!” ujar Breng.
“Sekarang ta Breng? Tunggu, aku mandi
dulu!” jawab Ikbal
Istilah
ngepom dikenal sebagai motor diisi bensin di SPBU terdekat. Tapi bagi kaum
pendosa macam kami, ngepom bisa berkonotasi bukan hanya pada sepeda motor: tapi
juga pada perut. Cara penjahat untuk menyamarkan apa yang akan dilakukannya.
Biasanya teman-teman akan bertanya.
“Pada mau kemana ini?”
“Ngepom!” jawab kami.
Orang
awam akan berpikir kami mengisi bensin untuk motor di pom dekat situ. Tapi bagi
yang sudah paham akan segera menyahut.
“Iyo, pom weteng!” ujar Mak Lay—atau Layla, ibu tiri cerewet
kami di 145.
“Isien pertamax, ojo sego campur!”
ujar some random friends di ujung sana.
“Aku titip bungkusno!” ujar pendosa abu-abu yang tak mau repot.
“Aku titip bungkusno!” ujar pendosa abu-abu yang tak mau repot.
Kami biasa berboncengan ke ‘pom’ kami: warung emak. Dan seperti dituliskan diatas, salah satu menunya adalah ‘so called’ mie ayam atau pangsit—whatever! Kita selalu disana berlama-lama. Memesan minum dengan porsi jumbo—emak sudah hapal sekali pada hal ini—dan kemudian kadang juga menu nasi dengan lauk yang kadang, karena saking baik hatinya emak, digorengkan live di tempat kejadian perkara.
“Mak, lauk telur ada?” tanya Ikbal.
“Endog? Dorong nggoreng! Opo gelem tak
gorengno sek a diluk?” jawab Emak.
Ikbal tentu mengangguk kegirangan.
Ikbal tentu mengangguk kegirangan.
Kretek
atau udud atau apapun itu yang penting bukan racun vaporizer kami bagi disitu.
Kecuali Tyo yang tidak merokok, aktivitas penuh asap di tengah bulan Ramadan
adalah ritual kami yang konstan dilakukan sewaktu KKN. Saya sempat berpikir
akan nikmat menikmati Dji Sam Soe di tempat sesejuk Mojokerto—terutama waktu
malam. Ternyata tetap tidak ada yang bisa mengalahkan Gold Lights Marlboro.
Tentu saja. kadang ini juga digilir dengan kretek atau mild yang cukup untuk
membunuh malam.
Setidaknya
seperi itulah aktivitas siang hari. Karena setelah itu kita bobo-bibi sampai
jelang maghrib. Dan malamnya, khususnya saya dan Ikbal, menjadi kelelawar.
Ikbal mencari tempat untuk bermain Dota, dan tentu saja harus ada wifi-nya.
Akhirnya di daerah Canggu kami menemukan satu warkop yang memenuhi kebutuhan:
wifi-nya sengebut serigala bahkan sama dengan Surabaya atau kadang malah lebih
cepat. Tempat yang asoy dengan TV kabel. Meski minumanya biasa-biasa saja. Saya
dan Ikbal biasa disana mulai pukul sebelas-dua belas malam, sampai jam tiga
lebih disaat sahur. Aktivitas nokturnal yang tak jauh beda dengan kehidupan
kuliah sialan sehari-hari.
***
Saya
dan Ikbal juga sempat mengunjungi salah satu desa di Mojokerto tempat pacar
Ikbal KKN. Kami melewati hutan galak yang bahkan sudah amat gelap di pukul
tujuh malam. Anjing. Saya yang waktu itu bertugas membaca peta sempat
ketar-ketir: takut kena begal penjahat-penjahat ninja disana. Tapi toh karena
memang nekat, dan Ikbal sudah kangen berat dengan si doi, kami berkunjung di
basecamp tim KKN yang ternyata lebih busuk dan anjing dari tempat KKN kami:
desa terbelakang, jalan bergelombang, hawa pengap, anjing seanjing-anjingnya.
Disana saya bertemu dengan Adelia dan Shom, sobat sejurusan sastra yang juga
sekelompok dengan pacar Ikbal. Tapi, waktu reuni kami tidak bisa berlama-lama.
Begitu pula waktu kencan Ikbal. Ada rapat dadakan membahas hal yang ‘amat
sangat penting’ kata ketuanya sehingga kita hanya lima belas menitan menemui
handaitaulan itu. selebihnya kita ngaplo—dan untung saja disuguhi kopi—dan saya
kembali berdua menghitung nyamuk dengan Ikbal. Setelah sejam setengah lebih
menunggu dan rapat belum usai juga sementara waktu menunjukkan pukul sembilan,
kita tahu kiranya apa yang harus dilakukan sekarang mengingat ada hutan keparat
yang kemungkinan besar berisi bajingan-bajingan yang siap mengintai jika saja
kita pulang terlalu malam.
Alhasil
saya dan Ikbal pun pamit, memacu motor dengan beringas lagi, sampai di hutan,
terkaget karena rintik-rintik gerimis mulai terasa. Asu. Ini tidak boleh
terjadi. Hujan sekarang adalah petaka. Bisa mampus kalau harus berhenti. Bisa
bahaya juga kalau terus melaju. Tapi toh Tuhan menyayangi para perjaka. Ia
tidak menurunkan Mikail di hutan. Ia menurunkannya tepat saat hutan selesai
kita lewati, dan kita akan menuju ke basecamp dimana kita tinggal. Lebih ajaib
lagi, kita berhenti dan terpaksa berteduh di warung kopi—yang jujur awalnya
saya kira diskotik atau rumah bordil—yang ngehip dengan lampu mencolok
warna-warni. Perkenalkan, penjualnya bernama, ehm, saya lupa, tapi dia selalu
bilang ‘Beta’ terus menerus (yang berarti ‘saya’), dan mari kita tebak
kira-kira dari mana asalnya. Beta, orang Nusa Tenggara!
Malam
yang sulit. Hujan sederas air susu ibu menyapu kerongkongan bayi. Warung Beta
tidak seramai kerlip lampunya: yang ada hanyalah pria botak yang memesan kopi
hitam dan kretek, sepertinya anggota marinir. Dan kami berdua yang sedang kedinginan
efek udara dan gerimis. Untung Ikbal mengambil Surya, dan jadilah kita berasap
bersama dengan kopi yang sudah dipesan. Alamat nanggung, kami menyerah dan
memesan Indomie juga. Dan
memprihatinkannya, saya juga sempat eek di toilet belakang warung Beta.
Benar-benar.
Hujan
mereda. Kami sadar bahwasanya gelas kopi kami telah kosong. Pun Surya yang
tinggal beberapa batang. Ada saatnya kita harus pamit setelah membayar.
“Oom, kita balik dulu, yah!” ujar saya.
“Oh, Okey! Kapan-kapan main kesini lagi,
ya! Beta tunggu!” ujar Beta.
“Siapppp, Om!” jawab saya.
Tinggal hanya memacu motor karena Ikbal sudah menstarter. Tapi Beta keluar warung seperti ingin melakukan perpisahan terakhir, mengantar sampai ke depan. Dia melihat plat motor saya.
“Siapppp, Om!” jawab saya.
Tinggal hanya memacu motor karena Ikbal sudah menstarter. Tapi Beta keluar warung seperti ingin melakukan perpisahan terakhir, mengantar sampai ke depan. Dia melihat plat motor saya.
“Plat N? Lho kamu dari Malang?” ia bertanya.
“Oh endak Oom, dari Surabaya, mahasiswa
KKN Oom.” jawab saya sekenanya.
“Oh dari kampus mana? Saya suka anak KKN, disini juga banyak anak KKN, mereka biasanya ngopi disini. Saya kenal mereka semua. Mereka dari universitas mana, saya lupa. Tapi mereka selalu mampir kesini!” ujar Beta. Antusiasmenya tiba-tiba saja melonjak.
“Oh, masak Oom?” jawab saya. Mau basa-basi apalagi. Ikbal belum mematikan mesinnya padahal idola Ambon ini sedang bercerita.
“Oh dari kampus mana? Saya suka anak KKN, disini juga banyak anak KKN, mereka biasanya ngopi disini. Saya kenal mereka semua. Mereka dari universitas mana, saya lupa. Tapi mereka selalu mampir kesini!” ujar Beta. Antusiasmenya tiba-tiba saja melonjak.
“Oh, masak Oom?” jawab saya. Mau basa-basi apalagi. Ikbal belum mematikan mesinnya padahal idola Ambon ini sedang bercerita.
“Iya, hampir tiap hari mereka kemari. Ini
saja tidak datang, mungkin hujan. Aku selalu respect sama mahasiswa,
harga-harga disini semuanya kuturunkan. Jadi beda antara orang biasa yang minum
kopi, dengan mahasiswa. Kopi untuk orang biasa, lima ribu. Tapi untuk
mahasiswa, aku bilang sama istriku juga, agar menjualnya tiga ribu saja. Pun
mie goreng, dan menu lain. Kasian, mereka belum bekerja.”
Bangsat.
Kenapa tidak bilang dari tadi Beta. Tahu begitu aku bilang kalau aku ini
mahasiswa, jadi harga bisa sedikit lebih murah. Tapi barusan kamu sudah tahu
Beta kalau aku ternyata mahasiswa, kenapa tak kau kembalikan separuh uangku. Ah
gimana kau Beta!
“Kalian KKN deket sini-kah?” Beta melanjutkan. “Biar aku kasih tahu, rumahku itu di gang depan sebelah kanan, kiri
jalan ada namanya Salon Bunda. Kalian aku undang buka puasa besok kerumah, tiap
hari pun, kalau kalian sempat, silakan buka puasa disini. Anak-anak KKN pelanggan
warkopku ini kemarin sering buka puasa dirumah. Aku tidak apa-apa, istriku
juga, malah senang bisa saling berbagi.” Ujar Beta.
“Wah, siap Om! Kalau sempat tak mampir.” Jawab saya.
“Harus itu! Salon Bunda ya. Inget!” tanya Beta.
“Oh, sip-sip! Inget. Suwun Om!” saya berkata sambil naik motor.
Ini adalah gestur untuk memulai berpisah. Tapi gobloknya saya basa-basi lagi.
“Kalau ini Ikbal, temen saya, anak Pamekasan, Oom!” ujar saya sambil menepuk pundak Ikbal. Dia hanya tertawa sambil sibuk mengepul Surya.
“Wah, siap Om! Kalau sempat tak mampir.” Jawab saya.
“Harus itu! Salon Bunda ya. Inget!” tanya Beta.
“Oh, sip-sip! Inget. Suwun Om!” saya berkata sambil naik motor.
Ini adalah gestur untuk memulai berpisah. Tapi gobloknya saya basa-basi lagi.
“Kalau ini Ikbal, temen saya, anak Pamekasan, Oom!” ujar saya sambil menepuk pundak Ikbal. Dia hanya tertawa sambil sibuk mengepul Surya.
“Oh Pamekasan!” ujar Beta seperti
menemukan harta karun. “AKU PERNAH DISANA
DUA TAHUN, KERJA DI PABRIK GULA!”
Bajingan. Ikbal tiba-tiba langsung mematikan mesin motor. Seperti menemukan satu teman dengan topik paling menarik sedunia. Dan dimulailah sesi curhat jilid dua. Tak ada pilihan lain: nyalakan sejumput tembakau. Busshhhhhhhh!
Malam ini sepertinya akan panjang.
Bajingan. Ikbal tiba-tiba langsung mematikan mesin motor. Seperti menemukan satu teman dengan topik paling menarik sedunia. Dan dimulailah sesi curhat jilid dua. Tak ada pilihan lain: nyalakan sejumput tembakau. Busshhhhhhhh!
Malam ini sepertinya akan panjang.
*mengadopsi
Martin Suryajaya dalam Kiat Sukses Hancur Lebur, di sebuah bab tentang pecel
lele.
(bersambung)
Ikutan nongkrong yuk , bisa nonbar bareng kawan n seru seruan bareng F4n588371n9 :)
ReplyDelete