burem kamera hape hoam |
Pahit
kopi adalah satu-satunya kontemplasi. Dua jika ditambah nyala kretek. Tiga jika
kita punya peralatan memadai untuk memutar koleksi musik terbaik, dengan CD-CD
mutu tinggi yang bisa didengarkan sambil tiduran dan membaca Thus Sprach
Zarathustra—atau jika terlalu berat, Komik Petualangan Doraemon—dan kemudian
ketiduran lagi, sampai esok harus bangun tergopoh, dikejar setan waktu lagi,
dan sekali lagi, Silampukau keterlaluan benar. Demi Tuhan, atau Demi Setan,
pekerjaan menyita harapan. Belum lagi tuntutan hidup. Jodoh, atau kapan kawin,
kapan punya momongan. Padahal skripsi belum juga kelar. Padahal dosen
pembimbing skripsi belum menjelma warung penyetan yang mudah ditemu. Untungnya
hari dihitung tujuh hari. Dan jam kerja dihitung lima hari. Sisa dua hari di
akhir pekan, kita berkesempatan menjadi manusia lagi. Dan Surabaya, menyediakan
jalannya.
Surabaya
punya pemusik-pemusik indie terbaik, dan kita tidak perlu susah-susah lagi
mencari suaka sampai jadi hipster yang mencari musik-musik ekletik dari Hungaria
atau Afrika Selatan. Surabaya menyediakannya lengkap beserta tempatnya.
Surabaya mencintai kita semua kala akhir pekan. Banyak acara-acara indie rutin mingguan/bulanan
yang mulai bermunculan (lagi). Penikmat musik yang semakin apresiatif dengan
tidak duduk dan ikutan bergoyang lenggak-lenggok. Penikmat musik semakin
suportif dengan membeli CD atau Tape beserta t-shirt band-band lokal. Gairah
indie kota jadi semakin kondusif. Semakin hari semakin berkembang. Musik-musik
menjadi beragam dan banyak pilihan referensi untuk kita yang sudah keseringan
mendengar Carly Ray Jepsen. Dan bahkan tempat-tempat yang dulu tidak pernah
dibayangkan akan jadi lahan bagi muda-mudi hip untuk berkumpul dan bernyanyi
bersama, kini sudah semakin membuka diri, menampilkan sikap dukungannya dengan
membuat gigs, yang meskipun tidak besar, tetap bisa menampung band-band lokal
untuk tampil membawakan lagu sendiri, berinteraksi dengan penonton, menjajakan
CD dan merchandise—dan kita semua membutuhkan itu.
Alhasil
sebelum isi otak kita gempar akan pemberitaan Agus Yudhoyono dan Aa’ Gatot
Brajamusti season 2, kita sudah di depan stage yang meskipun ada jarak karena
kursi-kursi berjejer mengitar, memotret suasana panggung temaram yang belum
benar-benar hidup karena pengisi acara masih berupa sampling DJ somehow
antah-berantah yang tidak akan pernah cocok bermain di nuansa seperti ini,
sambil mengamati foodtruck yang berjejer menjajakan sosis dua puluh lima
ribuan, atau semurah-murahnya Teh Gopek enam ribuan, untuk kemudian tahu bahwa
suasana di sini sungguh memanjakan mata dengan laju mobil dengan kita yang
sedang tidak berada di dalamnya, mengisi udara remang pukul tujuh malam yang kian
prosaik andai saja ada lampion dan tangan yang menggandeng. Tapi teman-teman
saja sudah lebih dari cukup untuk menikmati acara di Graha Fairground ini.
Sebuah acara balada hiperrealitas nan hangat sehingga dinamai Hyper Ballad pun
tidak jadi masalah. Yang jadi masalah adalah bila Hyper Ballad berhenti entah
di edisi keempat, ketiga, atau kedua yang dengan ini berarti pupus sudah
obsesinya untuk menjadi acara gigs rutin.
Ada
obsesi dari DJ-DJ yang meramu sampling di kanan panggung, semacam keinginan
untuk memanasakan malam yang saat itu sedang mendung. Tapi aksi dari komplotan
Layung Temaram-lah yang berhasil, setidaknya membuat kita terpaku entah sampai
beberapa menit. Lagu-lagu terbaik mereka dilempar, mengingatkan kita semua
bahwasanya ada soft spot di dalam hati yang membutuhkan melodi macam ini. Tidak
berlebihan bahwasanya pada akhirnya kita akan melunak dan mencintai pop,
perlahan-lahan dan tidak tergesa seperti menali sepatu sendiri. Mungkin ini
band baru, tapi itu urusan lain. Graha Fairground lewat Hyper Ballad menyediakan
sound yang mumpuni. Tidak masalah apakah hafal lagunya atau tidak, termasuk
juga saat Sinletto, yang kita semua mengira ini adalah band pemuda kelebihan
skill yang memainkan pop rock—dan untungnya berusaha tidak generik. Beberapa
hentakan kemudian DJ mengisi lagi jeda antar band. Kali ini Ayren Mayden—dan
bukan Iron Maiden, entah apa ini parodi—DJ yang terakhir kali kita dengar
bermain bersama Lawless Youtube Squad-nya Arian13 dan Sammy dari ibukota. Tidak
semuanya menyukai yang begini karena nyatanya ini bukan pesta rave. Nikmati
semampunya saja.
Lalu
berduyun-duyun datanglah punggawa dari Timeless, dengan Fajri Armstrong, sang
gitaris yang sedang dalam kondisi kurang fit. “Ada teh panas?” tanyanya pada
salah satu penjaja minuman di stan. Sayangnya tidak ada. “Lagi kurang fit ini
badan, butuh teh panas.” Ujarnya. Ronascent sempat menemuinya dan bertanya
padanya akan kemungkinan tur nasional debut terbaru mereka, Beetwen And Beyond.
“Nanti, ini masih direncanakan, masih dibahas sama temen-temen juga.” Ujarnya.
“Suwun loh ya, sudah beli albumnya.” Tambahnya. Untuk Beetwen And Beyond
sendiri, track-track seperti Golden Age yang dikeluarkan sebagai single sudah
banyak riwa-riwi di soundcloud. Motown Crush, salah satu track dari album ini,
adalah andalan Ronascent: lick-lick yang gawat dan gatal di telinga, jelas
Timeless menjadi semakin matang dan berbahaya. “Kami main jam delapan, habis
ini.” pungkasnya.
Seperti
biasa, acara musik akan berlipat garingnya bila ada host atau MC atau apapun
itu yang dilibatkan. Meski tidak mengapa juga karena dalam rangka promosi
foodtruck, tapi tidak perlu sampai heboh sendiri dan berteriak-teriak layaknya
besok kiamat. Memang sudah tugasnya, dan kita sudah terbiasa mendengarkan
celotehan kurang penting apapun itu yang keluar dari industri musik
odong-odong. Untungnya Timeless tidak suka berlama-lama. Energi yang kelihatan
meluap-luap dari Bimantarah, Anggra, Ferry dan juga Fajri—yang terlihat amat
segar bugar di atas panggung. Hampir seluruh track di Beetwen And Beyond
dimuntahkan, mulai dari—jika tidak lupa judul dan urutannya—Living Free Living
Easy, Free From The Universe, Fine, Pills, Golden Age, dan Motown Crush.
Mungkin banyak penonton awam yang belum ngeh karena album yang terhitung masih
sangat baru. Meski begitu suasana Graha Fairground langsung mendadak ramai saat
mereka main. Kursi-kursi langsung penuh. Yang berdiri berjajar juga lumayan.
Puja-puji untuk suara Bimantarah yang jika boleh menyebutkan sosok, mirip
seperti Eddie Vedder, di era-era album Ten, sempat terlontar. Juga sound yang
mendekati paripurna, meski mereka bermain sedikit ugal-ugalan khsusunya Ferry
pada drum—sosok perfeksionis yang selalu tepat memperhitungkan pukulan.
Atmosfer berubah saat Golden Age dimainkan karena bisa jadi inilah lagu yang
sudah cukup dikenal. Tidak ada lingkaran moshing karena seputaran panggung
adalah kursi. Pun juga tidak ada yang sampai dekat-dekat panggung dan bertindak
gila karena akan sangat terlihat rock snob. Yang ada hanya sedikit tembakau dan
headbang tipis-tipis, mengiringi mendung yang makin menjadi dan mungkin akan
segera turun hujan. Satu-satunya lagu dari EP We Believe For What We Do Is
Timeless yang kemungkinan besar dihafal oleh semua yang hadir, Cold Summer,
dimainkan dan menjadi penutup. Dari Cold Summer yang sepertinya banyak mendapat
pengaruh dari Foo Fighters ditambah sejumput kebengalan punk rock, kita akan
mengetahui bahwa tidak terlalu banyak perbedaan mencolok dari EP dan debut
album baru mereka. Mereka sudah memperhitungkan dan terlihat menuju ke arah
sana. Meski EP terdengar lebih ngebut dan raw, sementara Beetwen And Beyond
adalah tata kelola yang lebih rapih dan fresh—mengurangi senyawa-senyawa oktan
knalpot dengan tetap menggunakan amplifier Orange sebagai senjata.
Setelah
semuanya berkumpul dengan riang gembira, dan waktu belum terlalu malam untuk
pulang dan bercinta, Humi Dumi datang dengan membawa serangkaian kenangan—atau
yang lebih melankolik dari itu. Para personilnya sempat membaur bersama
penonton, dan seperti tipikal pemirsa musik di Surabaya, tidak ada yang tahu
bahwa orang-orang itu, vokalis imut itu, si bassist cantik itu, yang akan naik
panggung dan menghibur mereka. Jadi tidak ada tekanan menjadi selebritas meski
terkadang itu ironis. Dengan gelap yang semakin jadi mendung, tidak butuh waktu
lama bagi band yang melabeli dirinya sebagai innocence folk pop ini untuk
mengalunkan nada. Tidak banyak yang bisa diingat mengingat syahdunya permainan
mereka—seperti yang sudah-sudah. Kita akan mengumpat ngeri karena di intro yang
sengaja dibuat berbelit namun untungnya amat manis—seperti yang
sudah-sudah—kemudian terlantun Sleep yang teduh surgawi. Bisa-bisanya band ini
tidak mencuat ke blantika pop nasional? Kita akan membahasnya lain waktu. Riuh
tepuk tangan penonton yang memang tidak terlalu ramai sehingga berkesan hangat
dan intim seakan ingin mengapresiasi meskipun Qanita Hasinah si vokalis sempat
berujar di tengah sapaannya, “Kalian pengen aku atau Irna yang ngomong?’’ yang
tidak terdengar ironis malah terdengar seperti guyonan meski tiada penonton
yang tertawa—walau ada juga begundal yang berteriak ‘Irna!’ Tentang Irna
sendiri (nama lengkapnya Irna Kurnia R, dan tersedia di Instagram) adalah
jelita cantik kekinian dulunya berambut sebahu kini sudah agak panjangan,
dengan senyum manis dan dia memainkan bas pula. Iya benar, satu kata: bergetar.
Bisa jadi betotan bas dia membetot hati penonton laki-laki juga yang kesengsem
dan terusan ambil potret. Tapi sudahlah bahas musik saja. Sudah bisa ditebak
lagu-lagu dari EP I Am Ij Sin A-lah yang diputar, minus Walking In The Pillow
yang—seperti yang sudah-sudah—jarang mereka mainkan saat off air. Tambahan lagi
satu lagu yang seperti tidak asing tapi juga tidak terlalu familiar. Mungkin
ini single terbaru atau cover version, terserah saja. Ada gimmick-gimmick
sederhana yang ditawarkan Humi Dumi di Hyper Ballad, sesederhana menambahkan
gemericik gitar sebelum awal lagu, atau suara synth, atau bebunyian yang sudah
disiapkan sebelumnya, mengalun mengawang di sisi sound saat Ceria Cerita, Bella
In 79 Seconds, dan Mirror sebagai lagu pamungkas dimainkan. Kita tidak bisa
melupakan saat asyik-asyiknya duduk dan memejam mata menikmati indahnya
duniawi, tiba-tiba turun gerimis yang meluap menjadi hujan. Semuanya menyingkir
dan berlindung di balik atap sound engineer yang sedang bekerja—dan untungnya
tidak merasa terganggu. Humi Dumi tetap tampil atraktif dan elegan meski
penonton menjauh, dan ajaibnya saat hujan berubah jadi rintik, penonton
menyemut lagi, kali ini tidak duduk-duduk karena bangku sudah kepalang basah,
melainkan berdiri merapat panggung, Terima kasih hujan sudah menghidupkan
penonton. Dengan berdiri kita lebih leluasa bergoyang, menyulut tembakau,
mengangguk kepala, mengamati Irna, apapun. Dan walau hujan datang lagi
setelahnya, tetap saja penonton akan menyemut kembali kala ia mulai mereda.
Yang tidak bisa terkatakan adalah bagaimana ajaibnya Mirror—sebagai lagu
terbaik Humi Dumi sejauh ini—dimainkan saat gerimis turun. Pendar lampu
kekuningan menerpa hujan dan jadilah ini malam yang magis. Ini adalah momen
terbaik penampilan Humi Dumi dari yang sudah-sudah. Suasanya yang tidak
terkatakan namun akhirnya terkatakan juga. Dan saat hampir memungkasi lagunya,
dimana itu adalah part-part yang menunjukkan kejeniusan mereka sebagai
penghayat sejati, langit sedikit-demi-sedikit mulai cerah, dan Humi Dumi
perlahan meninggalkan gemerlap lampu panggung, dengan gimmick outro Mirror yang
di remix ala-ala chillout yang terus berkumandang. Surabaya memberkahimu.
Penampilan
pamungkas datang dari band yang disebut-sebut sebagai saudara Humi Dumi—dimana
mereka selalu ada di tiap gigs yang mengundang Humi Dumi—dengan vokalis
perempuan yang lebih terlihat berhawa gelap dan murung. Senandung Sore memainkan
lagu-lagu terbaik mereka, mencoba memaknai sisa-sisa bau hujan, mengajak
penonton menyesapi sisa-sisa malam, dan saat Sadrah—yang masuk dalam kompilasi
terbaru Ronascent Outtatime—kita akan menguap dengan amat panjang. Bukan
mengantuk. Bukan lelah. Terlalu banyak hal-hal yang patut disyukuri di malam
ini. Ternyata hidup masih amat menyengangkan. Dan Surabaya, nyatanya masih
mencintai kita kala akhir pekan.
*Versi edit (tapi kayaknya nggak diedit hehe) bisa dibaca di Ronascent Webzine di link ini.
Ikutan nongkrong yuk , bisa nonbar bareng kawan n seru seruan bareng F4n588371n9 :)
ReplyDelete