Wednesday, October 12, 2016

Surabaya Mencintai Kita Kala Akhir Pekan

burem kamera hape hoam
Kita pernah—dan mungkin hampir setiap waktu—menghadapi hari-hari busuk. Pekerjaan menumpuk. Jalanan mengajari kita menjadi babi yang bergerak lamban sambil menghitung sudah berapa total usia kita menemui lampu merah, serobotan angkot, truk tinja, dan taksi, berhenti sambil melamun menunggu magrib yang, mengutip Silampukau, mengambang, lirih dan terabaikan. Setengah lima sore kebiadaban itu dimulai. Kendaraan melambat dengan sendirinya, tanpa kewajiban dan ketakutan absurd seperti mobil yang harus melambatkan kecepatannya sampai 5 km/jam saat melewati patung Kim Jong Il di Pyongyang sana. Surabaya. Melambat atau terhenti, sama saja. Yang penting langsung pacu seganas kijang saat ada celah sedikit, terobos, memungkinkan untuk sampai rumah lima detik lebih cepat. Setelah itu kita akan mampir ke warung-warung kopi, giras-giras andalan tepian jalan. Meneguk kopi creamer, membakar kretek, mencomot tahu garam, duduk sambil mencharge ponsel, memanfaatkan lagi koneksi wifi, menghubungkan lagi pada maya yang sempat terlupa kala sibuk mengerem aspal. Berkali-kali. Terus seperti itu. Kerja, pulang, ngopi, tidur lalu mati. Tidak tenang di kuburan, menyesal, mewek, karena sebenarnya ada hidup yang lebih hidup dibanding hidup yang sempat dijalani sewaktu masih hidup. Hidup yang tidak setegang lagu Dragonforce. Hidup yang tidak serapuh kresek kerupuk. Hidup yang tidak sebabi ini.

Pahit kopi adalah satu-satunya kontemplasi. Dua jika ditambah nyala kretek. Tiga jika kita punya peralatan memadai untuk memutar koleksi musik terbaik, dengan CD-CD mutu tinggi yang bisa didengarkan sambil tiduran dan membaca Thus Sprach Zarathustra—atau jika terlalu berat, Komik Petualangan Doraemon—dan kemudian ketiduran lagi, sampai esok harus bangun tergopoh, dikejar setan waktu lagi, dan sekali lagi, Silampukau keterlaluan benar. Demi Tuhan, atau Demi Setan, pekerjaan menyita harapan. Belum lagi tuntutan hidup. Jodoh, atau kapan kawin, kapan punya momongan. Padahal skripsi belum juga kelar. Padahal dosen pembimbing skripsi belum menjelma warung penyetan yang mudah ditemu. Untungnya hari dihitung tujuh hari. Dan jam kerja dihitung lima hari. Sisa dua hari di akhir pekan, kita berkesempatan menjadi manusia lagi. Dan Surabaya, menyediakan jalannya.

Surabaya punya pemusik-pemusik indie terbaik, dan kita tidak perlu susah-susah lagi mencari suaka sampai jadi hipster yang mencari musik-musik ekletik dari Hungaria atau Afrika Selatan. Surabaya menyediakannya lengkap beserta tempatnya. Surabaya mencintai kita semua kala akhir pekan. Banyak acara-acara indie rutin mingguan/bulanan yang mulai bermunculan (lagi). Penikmat musik yang semakin apresiatif dengan tidak duduk dan ikutan bergoyang lenggak-lenggok. Penikmat musik semakin suportif dengan membeli CD atau Tape beserta t-shirt band-band lokal. Gairah indie kota jadi semakin kondusif. Semakin hari semakin berkembang. Musik-musik menjadi beragam dan banyak pilihan referensi untuk kita yang sudah keseringan mendengar Carly Ray Jepsen. Dan bahkan tempat-tempat yang dulu tidak pernah dibayangkan akan jadi lahan bagi muda-mudi hip untuk berkumpul dan bernyanyi bersama, kini sudah semakin membuka diri, menampilkan sikap dukungannya dengan membuat gigs, yang meskipun tidak besar, tetap bisa menampung band-band lokal untuk tampil membawakan lagu sendiri, berinteraksi dengan penonton, menjajakan CD dan merchandise—dan kita semua membutuhkan itu.

Alhasil sebelum isi otak kita gempar akan pemberitaan Agus Yudhoyono dan Aa’ Gatot Brajamusti season 2, kita sudah di depan stage yang meskipun ada jarak karena kursi-kursi berjejer mengitar, memotret suasana panggung temaram yang belum benar-benar hidup karena pengisi acara masih berupa sampling DJ somehow antah-berantah yang tidak akan pernah cocok bermain di nuansa seperti ini, sambil mengamati foodtruck yang berjejer menjajakan sosis dua puluh lima ribuan, atau semurah-murahnya Teh Gopek enam ribuan, untuk kemudian tahu bahwa suasana di sini sungguh memanjakan mata dengan laju mobil dengan kita yang sedang tidak berada di dalamnya, mengisi udara remang pukul tujuh malam yang kian prosaik andai saja ada lampion dan tangan yang menggandeng. Tapi teman-teman saja sudah lebih dari cukup untuk menikmati acara di Graha Fairground ini. Sebuah acara balada hiperrealitas nan hangat sehingga dinamai Hyper Ballad pun tidak jadi masalah. Yang jadi masalah adalah bila Hyper Ballad berhenti entah di edisi keempat, ketiga, atau kedua yang dengan ini berarti pupus sudah obsesinya untuk menjadi acara gigs rutin.

Ada obsesi dari DJ-DJ yang meramu sampling di kanan panggung, semacam keinginan untuk memanasakan malam yang saat itu sedang mendung. Tapi aksi dari komplotan Layung Temaram-lah yang berhasil, setidaknya membuat kita terpaku entah sampai beberapa menit. Lagu-lagu terbaik mereka dilempar, mengingatkan kita semua bahwasanya ada soft spot di dalam hati yang membutuhkan melodi macam ini. Tidak berlebihan bahwasanya pada akhirnya kita akan melunak dan mencintai pop, perlahan-lahan dan tidak tergesa seperti menali sepatu sendiri. Mungkin ini band baru, tapi itu urusan lain. Graha Fairground lewat Hyper Ballad menyediakan sound yang mumpuni. Tidak masalah apakah hafal lagunya atau tidak, termasuk juga saat Sinletto, yang kita semua mengira ini adalah band pemuda kelebihan skill yang memainkan pop rock—dan untungnya berusaha tidak generik. Beberapa hentakan kemudian DJ mengisi lagi jeda antar band. Kali ini Ayren Mayden—dan bukan Iron Maiden, entah apa ini parodi—DJ yang terakhir kali kita dengar bermain bersama Lawless Youtube Squad-nya Arian13 dan Sammy dari ibukota. Tidak semuanya menyukai yang begini karena nyatanya ini bukan pesta rave. Nikmati semampunya saja.

Lalu berduyun-duyun datanglah punggawa dari Timeless, dengan Fajri Armstrong, sang gitaris yang sedang dalam kondisi kurang fit. “Ada teh panas?” tanyanya pada salah satu penjaja minuman di stan. Sayangnya tidak ada. “Lagi kurang fit ini badan, butuh teh panas.” Ujarnya. Ronascent sempat menemuinya dan bertanya padanya akan kemungkinan tur nasional debut terbaru mereka, Beetwen And Beyond. “Nanti, ini masih direncanakan, masih dibahas sama temen-temen juga.” Ujarnya. “Suwun loh ya, sudah beli albumnya.” Tambahnya. Untuk Beetwen And Beyond sendiri, track-track seperti Golden Age yang dikeluarkan sebagai single sudah banyak riwa-riwi di soundcloud. Motown Crush, salah satu track dari album ini, adalah andalan Ronascent: lick-lick yang gawat dan gatal di telinga, jelas Timeless menjadi semakin matang dan berbahaya. “Kami main jam delapan, habis ini.” pungkasnya.

Seperti biasa, acara musik akan berlipat garingnya bila ada host atau MC atau apapun itu yang dilibatkan. Meski tidak mengapa juga karena dalam rangka promosi foodtruck, tapi tidak perlu sampai heboh sendiri dan berteriak-teriak layaknya besok kiamat. Memang sudah tugasnya, dan kita sudah terbiasa mendengarkan celotehan kurang penting apapun itu yang keluar dari industri musik odong-odong. Untungnya Timeless tidak suka berlama-lama. Energi yang kelihatan meluap-luap dari Bimantarah, Anggra, Ferry dan juga Fajri—yang terlihat amat segar bugar di atas panggung. Hampir seluruh track di Beetwen And Beyond dimuntahkan, mulai dari—jika tidak lupa judul dan urutannya—Living Free Living Easy, Free From The Universe, Fine, Pills, Golden Age, dan Motown Crush. Mungkin banyak penonton awam yang belum ngeh karena album yang terhitung masih sangat baru. Meski begitu suasana Graha Fairground langsung mendadak ramai saat mereka main. Kursi-kursi langsung penuh. Yang berdiri berjajar juga lumayan. Puja-puji untuk suara Bimantarah yang jika boleh menyebutkan sosok, mirip seperti Eddie Vedder, di era-era album Ten, sempat terlontar. Juga sound yang mendekati paripurna, meski mereka bermain sedikit ugal-ugalan khsusunya Ferry pada drum—sosok perfeksionis yang selalu tepat memperhitungkan pukulan. Atmosfer berubah saat Golden Age dimainkan karena bisa jadi inilah lagu yang sudah cukup dikenal. Tidak ada lingkaran moshing karena seputaran panggung adalah kursi. Pun juga tidak ada yang sampai dekat-dekat panggung dan bertindak gila karena akan sangat terlihat rock snob. Yang ada hanya sedikit tembakau dan headbang tipis-tipis, mengiringi mendung yang makin menjadi dan mungkin akan segera turun hujan. Satu-satunya lagu dari EP We Believe For What We Do Is Timeless yang kemungkinan besar dihafal oleh semua yang hadir, Cold Summer, dimainkan dan menjadi penutup. Dari Cold Summer yang sepertinya banyak mendapat pengaruh dari Foo Fighters ditambah sejumput kebengalan punk rock, kita akan mengetahui bahwa tidak terlalu banyak perbedaan mencolok dari EP dan debut album baru mereka. Mereka sudah memperhitungkan dan terlihat menuju ke arah sana. Meski EP terdengar lebih ngebut dan raw, sementara Beetwen And Beyond adalah tata kelola yang lebih rapih dan fresh—mengurangi senyawa-senyawa oktan knalpot dengan tetap menggunakan amplifier Orange sebagai senjata.

Setelah semuanya berkumpul dengan riang gembira, dan waktu belum terlalu malam untuk pulang dan bercinta, Humi Dumi datang dengan membawa serangkaian kenangan—atau yang lebih melankolik dari itu. Para personilnya sempat membaur bersama penonton, dan seperti tipikal pemirsa musik di Surabaya, tidak ada yang tahu bahwa orang-orang itu, vokalis imut itu, si bassist cantik itu, yang akan naik panggung dan menghibur mereka. Jadi tidak ada tekanan menjadi selebritas meski terkadang itu ironis. Dengan gelap yang semakin jadi mendung, tidak butuh waktu lama bagi band yang melabeli dirinya sebagai innocence folk pop ini untuk mengalunkan nada. Tidak banyak yang bisa diingat mengingat syahdunya permainan mereka—seperti yang sudah-sudah. Kita akan mengumpat ngeri karena di intro yang sengaja dibuat berbelit namun untungnya amat manis—seperti yang sudah-sudah—kemudian terlantun Sleep yang teduh surgawi. Bisa-bisanya band ini tidak mencuat ke blantika pop nasional? Kita akan membahasnya lain waktu. Riuh tepuk tangan penonton yang memang tidak terlalu ramai sehingga berkesan hangat dan intim seakan ingin mengapresiasi meskipun Qanita Hasinah si vokalis sempat berujar di tengah sapaannya, “Kalian pengen aku atau Irna yang ngomong?’’ yang tidak terdengar ironis malah terdengar seperti guyonan meski tiada penonton yang tertawa—walau ada juga begundal yang berteriak ‘Irna!’ Tentang Irna sendiri (nama lengkapnya Irna Kurnia R, dan tersedia di Instagram) adalah jelita cantik kekinian dulunya berambut sebahu kini sudah agak panjangan, dengan senyum manis dan dia memainkan bas pula. Iya benar, satu kata: bergetar. Bisa jadi betotan bas dia membetot hati penonton laki-laki juga yang kesengsem dan terusan ambil potret. Tapi sudahlah bahas musik saja. Sudah bisa ditebak lagu-lagu dari EP I Am Ij Sin A-lah yang diputar, minus Walking In The Pillow yang—seperti yang sudah-sudah—jarang mereka mainkan saat off air. Tambahan lagi satu lagu yang seperti tidak asing tapi juga tidak terlalu familiar. Mungkin ini single terbaru atau cover version, terserah saja. Ada gimmick-gimmick sederhana yang ditawarkan Humi Dumi di Hyper Ballad, sesederhana menambahkan gemericik gitar sebelum awal lagu, atau suara synth, atau bebunyian yang sudah disiapkan sebelumnya, mengalun mengawang di sisi sound saat Ceria Cerita, Bella In 79 Seconds, dan Mirror sebagai lagu pamungkas dimainkan. Kita tidak bisa melupakan saat asyik-asyiknya duduk dan memejam mata menikmati indahnya duniawi, tiba-tiba turun gerimis yang meluap menjadi hujan. Semuanya menyingkir dan berlindung di balik atap sound engineer yang sedang bekerja—dan untungnya tidak merasa terganggu. Humi Dumi tetap tampil atraktif dan elegan meski penonton menjauh, dan ajaibnya saat hujan berubah jadi rintik, penonton menyemut lagi, kali ini tidak duduk-duduk karena bangku sudah kepalang basah, melainkan berdiri merapat panggung, Terima kasih hujan sudah menghidupkan penonton. Dengan berdiri kita lebih leluasa bergoyang, menyulut tembakau, mengangguk kepala, mengamati Irna, apapun. Dan walau hujan datang lagi setelahnya, tetap saja penonton akan menyemut kembali kala ia mulai mereda. Yang tidak bisa terkatakan adalah bagaimana ajaibnya Mirror—sebagai lagu terbaik Humi Dumi sejauh ini—dimainkan saat gerimis turun. Pendar lampu kekuningan menerpa hujan dan jadilah ini malam yang magis. Ini adalah momen terbaik penampilan Humi Dumi dari yang sudah-sudah. Suasanya yang tidak terkatakan namun akhirnya terkatakan juga. Dan saat hampir memungkasi lagunya, dimana itu adalah part-part yang menunjukkan kejeniusan mereka sebagai penghayat sejati, langit sedikit-demi-sedikit mulai cerah, dan Humi Dumi perlahan meninggalkan gemerlap lampu panggung, dengan gimmick outro Mirror yang di remix ala-ala chillout yang terus berkumandang. Surabaya memberkahimu.

Penampilan pamungkas datang dari band yang disebut-sebut sebagai saudara Humi Dumi—dimana mereka selalu ada di tiap gigs yang mengundang Humi Dumi—dengan vokalis perempuan yang lebih terlihat berhawa gelap dan murung. Senandung Sore memainkan lagu-lagu terbaik mereka, mencoba memaknai sisa-sisa bau hujan, mengajak penonton menyesapi sisa-sisa malam, dan saat Sadrah—yang masuk dalam kompilasi terbaru Ronascent Outtatime—kita akan menguap dengan amat panjang. Bukan mengantuk. Bukan lelah. Terlalu banyak hal-hal yang patut disyukuri di malam ini. Ternyata hidup masih amat menyengangkan. Dan Surabaya, nyatanya masih mencintai kita kala akhir pekan.

*Versi edit (tapi kayaknya nggak diedit hehe) bisa dibaca di Ronascent Webzine di link ini. 

1 comment:

  1. Ikutan nongkrong yuk , bisa nonbar bareng kawan n seru seruan bareng F4n588371n9 :)

    ReplyDelete