Langsung dari
Pulau Dewata, begawan tata bahasa Unesa mengungkapkan sejumlah besar
rahasianya. Betapa hidup memang serba kebetulan dan penuh perjuangan: Diding
Rohaedin bercerita apa adanya dibalik balkon hotel kelas melati. Oleh Tito Hilmawan Reditya
Perawakannya kecil. Tubuhnya agak tambun.
Kumisnya tipis-tipis. Tatapan matanya lurus-lurus saja. Bijaksana ia dari
bahasa dan gaya bicara. Asli Jawa Barat, Bandung tepatnya. Menetap di Surabaya
lebih dari tiga puluh tahun. Begawan bahasa Unesa yang paling banyak malang
melintang mendampingi penelitian mahasiswa di luar pulau: Diding Rohaedin.
“Rokok sekarang berapa harganya?”
Ia bertanya
sesaat setelah mengamati bungkus rokok putih Lucky Strike yang berserakan di
meja. Kami berada di balkon salah satu hotel kelas melati dekat stasiun Ubung,
Bali. Duduk berdampingan menatap apapun yang terhalang pohon dan bangunan Pulau
Dewata yang tak pernah terlalu tinggi itu. Hanya dibatasi meja.
“15-ribuan, Pak.” Saya menyahut. Pecandu
Indomaret lain juga tahu akan hal ini. Kecuali penggemar eceran, Indomaret dan
15-ribu untuk sebungkus rokok sudah jadi tabu.
“Bapak nggak ngerokok?” Saya bertanya.
“Hahah, saya nggak ngerokok.” Ia
melanjutkan. Ceritanya straigt edge lifestyle.
“Dulu, jaman dulu sekali saya pernah ngerokok,
iseng aja itu. Di dalam kereta waktu itu temen-temen saya banyak yang ngerokok.
Ah, saya pikir daripada saya hanya menghirup asapnya saja, mending saya
ikutan.” Kenangnya.
Di jaman dulu rokok yang sedang nge-hype adalah merek kretek dari
Djarum, bukan rokok mild murah dengan kemasan ngejreng yang digemari muda-mudi.
“Kretek itu saya coba. Enggak kuat saya, rasanya
merokok kok seperti ini. Nggak enak, jadinya saya nggak pernah merokok setelah
itu.”
Acap kali yang keluar dari mulut Pak Diding beda
jauh dengan apa yang ia ajarkan dalam kelas. Tata bahasa baku, kalimat
sempurna, morfologi, fonologi, morfem dan apa itu namanya yang mungkin hanya
dihafal mahasiswa tingkat akhir yang mengambil tema kebahasaan dengan buku
diktat setebal kitab Sun Go Kong. Tapi saat perbincangan, tak pernah ada
hal-hal kaku membosankan semacam itu. Pak Diding adalah tokoh fleksibel yang
mudah kita ajak bicara. Layaknya teman-teman lama yang kita temui saat
nongkrong di warung kopi sederhana tepi jalan. Enjoy, rileks, menyenangkan.
Tiada batas dosen-mahasiswa. Begawan-medioker. Berumur-masih hijau. Sekat itu
meluntur sejak awal perbincangan.
“Dji Sam Soe juga dulu banyak yang suka. Banyak
yang ngerokok itu.” ujarnya.
Beliau juga paham menjelaskan bahwa Dji Sam Soe
adalah rokok tanpa filter. Sementara kebanyakan merek rokok memakai filter.
“Itu pasti rasanya beda.”
Dari beberapa kamar di sebelah yang sebagian
berisi mahasiswa Unesa yang besoknya akan menuju daerah Penglipuran, Bali untuk
melakukan penelitian, saya dan Pak Diding kembali berbincang. Kemeja flannel
saya masih menggantung, dan beliau hanya memakai singlet putih. Kegerahan.
Hotel kecil yang saya tempati tak memberi dampak kebahagiaan ataupun kesenangan
apa-apa. Kasur yang tak seberapa empuk, pendingin ruangan yang bermasalah,
selimut ala kadarnya juga paling membuat kami—saya dan Pak Diding—tak betah
adalah siaran televisi antenna dengan channel kampungan yang hanya berisi pemujaan
berlebih terhadap Mahabarata.
Dari kejauhan tampak temaram. Malam datang begitu
cepat. Banyak hal yang dilalui seharian ini yang membuat mulut menguap, cepat.
Perlahan tapi pasti rasa kantuk itu datang. Tapi tidak dengan cerita-cerita Pak
Diding. Malam masih panjang. Dan ini baru saja dimulai.
Dari balkon tempat kami berada, terlihat banyak muda-mudi
sedang asyik berduaan. Mengukir kisah tak peduli di gang-gang Kuta, pantai
penuh turis, sampai malam ini, depan kamar hotel.
“Itu seneng banget keliatanya, cowok menghampirin
cewek.” Beliau membuka percakapan. Ada rasa Sunda dari logat dan suaranya.
“Saya dulu tak pernah seperti itu. Tak pernah ada
pacar-pacaran gitu.”
Waktu Indonesia Bagian Timur seakan melambat
dengan cerita Pak Diding. Saya semakin tertarik.
Pak Diding adalah dosen muda. Di era generasi
bunga 70-an, matinya Beatles dan gegap gempitanya Zeppelin dan Stones, beliau
menjalani hidup ala lelaki jantan yang penuh semangat rock and roll. Di
tahun-tahun kisaran 70-an inilah Pak Diding mulai hijrah ke Surabaya. Waktu itu
kampus jurusan Bahasa Indonesia masih berada di Ketintang. Bisa kita bayangkan
suasana Surabaya waktu itu masih amat panas, menggebu-gebu dan bising dengan
AKA maupun SAS—unit rock indopahit kebanggaan Surabaya. Sebagai dosen muda, Pak
Diding waktu itu masih indekost. masih mencari-cari kehidupan yang pas. Dan
ternyata, menjadi dosen tata bahasa adalah jalan yang ia tempuh sampai hari
ini.
“Waktu itu setelah saya selesai kuliah di
Bandung, saya pindah mengajar di Surabaya.” kenangnya. “Dari situ banyak
berjuangnya.”
Suatu hari, di daerah sekitar Ahmad Yani, Pak
Diding sedang mengendarai motor. 70-an adalah masa dimana memegang kendali
mesin dan melepas-tekan kopling adalah sesuatu yang jantan. Safety riding sudah
berlaku. Tapi kejadiaan itu diawali saat motor yang ditumpanginya harus
mengerem mendadak karena suatu hal. Motor beliau oleng ke kanan dan...
Brak!
Beliau resmi mengalami kecelakaan perdana di
Surabaya.
“Tangan saya rasanya kok gak enak gitu” (menunjuk
tangan kanan) “Digerak-gerakkin kok kayak susah. Wah ini pasti patah.” ujarnya.
Beliau cepat tanggap mengetahui bahwa tangannya
patah. Dulunya Pak Diding sempat bermain bola dan mengalami cidera. Tangannya
patah.
“Dulu sewaktu di Bandung saya pernah patah tangan
saat main bola. Jadi saya ngerti rasanya patah tuh gimana.” jelasnya.
Mungkin ini adalah alasan tak langsung mengapa
jalan hidup beliau tak menjadi pemain Persib. Tapi semangat bobotoh sejati
tetap ada dalam nafas, juga logat bicara.
Dari situlah kisah romansa Begawan tata bahasa
dimulai. Saat sebelum peristiwa kecelakaan naas itu, Pak Diding sempat
mendampingi mahasiswi untuk skripsi. Ada satu mahasiswi asal Ngawi waktu itu
yang mengambil bahan skripsi penelitian bahasa Sunda. Ternyata sanak kerabatnya
juga berasal dari Bandung. Atas dasar kesamaan daerah dan karena memang Pak
Diding cukup paham bahasa Sunda, bimibingan pun terjadi. Tapi setelah beliau
kecelakaan dan beritanya menyebar di kampus, segalanya seperti tak akan pernah
sama lagi.
“Waktu itu saya sudah tak bisa melakukan apa-apa.
tangan kanan saya tak bisa digerakkan. Berita kecelakaan saya sudah menyebar di
dosen-dosen dan para mahasiswa. Saya bingung juga harus bagaimana. Makan
sendiri tidak bisa. Cuci baju tidak bisa.
Pokoknya sudah tak bisa ngapa-ngapain.”
“Emang keluarga ibuk kos pada kemana, Pak?”
“Masak minta tolong mereka. Ha-ha. Pokoknya waktu
itu saya sedang bingung-bingungnya.”
Pak Diding tinggal di sebuah indekost yang
menyatu bersama rumah ibu dan bapak kost-nya. Waktu kecelakaan itu bapak kost
jugalah yang membawa beliau berobat.
“Waktu itu saya minta diantar Bapak kos, ‘pak
antarkan saya berobat’. Saya mintanya ke Rumah Sakit Dokter Sutomo, Karang Menjangan
situ.” Beliau menjelaskan sambil menerawang masa-masa itu. “Tapi biayanya mahal
sekali waktu itu. Dokter menyuruh operasi. Wah saya tak mau.”
Akhirnya Pak Diding hanya di gips dan disuruh
istirahat. Ini adalah masa sulit. Pak Diding seakan tak berdaya. Tangan kanan
sebagai penopang tak bisa dibuat apa-apa. Bahkan untuk menanak nasi pun
kesulitan. Di saat itulah muncul sosok malaikat. Tanpa menyebutkan nama, Pak
Diding menceritakan awal kisah cinta dengan istrinya, yang telah dinikahinya
hingga saat ini.
“Sebelumnya saya sempat membimbing skripsi
mahasiswi. Anaknya asal Ngawi. Ngambil skripsi tentang bahasa Sunda. Sedikit
banyak saya mengerti lah. Jadilah saya pembimbingnya.” Terang Pak Diding.
Berita tentang musibah yang menimpa Pak Diding
akhirnya sampai juga di lingkungan kampus. Mulai dosen, sampai mahasiswa,
banyak yang tahu musibah itu. Termasuk juga mahasiswi yang kebetulan dibimbing
skripsi oleh Pak Diding tersebut.
“Waktu itu saya bingung. Nggak bisa
ngapa-ngapain. Apa saya pulang ke Bandung saja? Begitu pikir saya. Tapi tak berapa
lama, mahasiswi saya itu datang ke kos. Seorang diri.”
Mahasiswi inilah kemudian yang merawat Pak
Diding. Segala keterbatasan Begawan tata bahasa ini praktis dibantu oleh
mahasiswi itu. Lingkungan kos Pak Diding yang menyatu dengan rumah keluarga yang
punya kos membuat kunjungan tersebut aman-aman saja dan tak menimbulkan masalah
berarti.
“Kosan saya itu gabung sama rumah bapak sama ibuk
kos. Jadi walaupun nerima tamu cewek gitu ya masih bisa diawasi.” Jelasnya.
Dari awal tak pernah ada perasaan apapun. Hanya
sebatas dosen dan mahasiswa. Tapi ketelatenan mahasiswi itu membantu Pak Diding
mulai dari makan, mengambil sesuatu sampai mencuci membuat hubungan mereka
semakin akrab.
“Saya belum pernah pacaran. Ha-ha. Bagaimana
rasanya pacaran itu saya juga tak mengerti.” Ia berkata sambil terus memandangi
muda-mudi depan hotel kami yang sedang asyik bercengkrama.
“Asyik kelihatannya.” katanya sambil tertawa.
Saya tersenyum pahit saja. Kesendirian ini begitu busuk, batin saya.
Keakraban Pak Diding dengan Mahasiswi itu makin
terasa saat Pak Diding memutuskan untuk pulang saja ke Bandung, berkunjung ke
rumah keluarganya. Karena tangan kanan di gips, otomatis Pak Diding perlu
bantuan. Jadilah mahasiswi tersebut ikut mengantar Pak Diding ke Bandung.
Kereta menjadi pilihan mereka berdua menuju Kota Parahiyangan.
Pak Diding juga sempat bercerita bahwasanya
mahasiswi ini adalah orang yang taat—alim istilahnya.
“Waktu itu saya tak sengaja menyentuh tangannya.
Ia langsung menghindar dan bilang bukan muhrim. Jadi kesimpualnnya ini gadis
baik-baik.”
Setibanya di Bandung dan ramah-tamah dengan
keluarga besar, ada sedikit masalah.
“Saya menceritakan semuanya ke keluarga saya,
termasuk si cewek itu. Dan mungkin ada sedikit tekanan bahwa hal seperti itu
kurang pantas. Perempuan bersama laki-laki yang bukan muhrim. Akhirnya daripada
menjadi aib, mending nikah siri saja. Hanya untuk menutupi aib.”
Pak Diding setuju, begitu pula si mahasiswi.
Dilangsungkanlah pernikahan siri itu. Hanya sebagai formalitas karena setelah
itu, si mahasisiwi kembali ke Ngawi dan Pak Diding masih di Surabaya.
“Saya nikah ya nggak ngapa-ngapain. Istri saya di
Ngawi, saya di Surabaya sini. Jadi jauh-jauhan. Di Ngawi kata istri, banyak
lelaki yang menghampiri dia. Tapi saya percaya saja, pasrah saja. Terserah dia
mau pilih lelaki itu atau saya. Kalau jodoh kan emang nggak kemana. Makanya
saya pasrah.”
Proyek nikah Pak Diding ini ternyata lebih
sederhana dibanding mata kuliah yang biasa beliau beri di kelas. Andaikata
nikah semudah itu, tentu kuliah akan jadi nomor dua. Istrinya ternyata masih
menjaga ikatan perkawinannya, tak hanya di masa itu, tapi juga hingga saat tulisan
ini ditulis. Cinta sejati, siapa yang mampu menolaknya?
“Ternyata dia tak menghiraukan lelaki-lelaki yang
datang. Dia sadar sudah punya suami. Ha-ha. Ya sudah, baguslah. Saya juga dari
awal percaya dia nggak bakal macam-macam, di Ngawi itu kan banyak kelaurganya,
ada kakak-kakaknya, jadi pasti bisa menjaga adiknya yang udah kawin itu he-he.”
tambah Pak Diding.
Lika-liku kisah cinta Pak Diding yang sudah
diresmikan dan bertahan hingga sekarang mungkin akan terasa sedikit aneh jika
diceritakan di masa kini. Saya hanya tertawa-tawa saja mendengar cerita beliau.
Bagi saya—dan pastinya kebanyakan muda-mudi—hidup terasa begitu anjing tanpa
pacar. Tapi Pak Diding membongkar mitos itu, mendekonstruksi ulang makna
pacaran dan membuat konsep baru bahwasanya tanpa pacaran pun hidup
normal-normal saja. Saya tersadar.
Kisah cinta ini berlanjut di Bandung. Entah bisa
disebut kisah cinta atau tidak karena segalanya berjalan seperti guyonan.
Seperti di film-film Warkop dimana kisah-kisah cinta malah terasa menggelikan.
Dono dan Eva Arnaz adalah contoh yang baik dalam mengajarkan bahwa cinta
sebenarnya hanyalah permainan dan iseng belaka. Tapi contoh yang lebih real
hadir di samping saya sekarang: cerita legendaris Pak Diding.
Di Bandung pun mereka masih jauh-jauhan. Pak
Diding di rumah keluarganya, sementara istrinya, tinggal di rumah sanak
saudaranya di Bandung.
“Di Surabaya jauh-jauhan, di tempat yang sama,
Bandung pun, masih jauh-jauhan. Ha-ha-ha.”
Kehidupan menyenangkan. Pak Diding menceritakan
tanpa beban. Mengenang kisah kecelakaan tak pernah semenarik ini. Biasanya ada
bumbu-bumbu sedih klise. Tapi beliau malah mengungkapnya di level kebahagiaan
tingkat tinggi. Jelas mahasiswi inilah pemicunya. Dari sini saya bisa tahu,
dari awal memang ada cinta yang terselip di hati keduanya, meski mereka tak
pernah sadari itu.
Betapa hidup hanya iseng. Keisengan yang penuh
perjuangan. Sekembalinya Pak Diding ke Surabaya, kos mungkin sudah terlalu
lapuk bagi dosen muda seperti beliau. Ada tawaran yang menggiurkan di kalangan
para dosen: punya rumah sendiri. Yang menggiurkan bukan itu, tapi hal
dibaliknya: rumah dengan cicilan rendah.
“Waktu itu Pak Mulyono yang menyerankan saya
punya rumah sendiri. Akhirnya lama-lama tergiur juga.”
Selanjutnya, Pak Diding memiliki rumah sederhana
yang waktu itu masih dibangun dengan batako, bukan batu bata seperti rumah
kebanyakan. Tiada barang. Rumah masih kosong. Dekorasi masih jelek. Banyak
cerita dari rumah itu. Sampai-sampai Pak Diding merenovasi ulang rumah itu
untuk ditinggali sanak saudaranya dari Bandung yang kebetulan kuliah di
Surabaya.
“Setelah saya renovasi, saudara saya yang dari
Bandung saya suruh tinggal disitu. Kebetulan banyak yang kuliah di Surabaya.
Akhirnya rumah itu ada yang menempati.”
Perjuangan Diding tak berhenti disitu. Sempat
juga beliau bercerita tentang mobil pertamanya. Mungkin waktu itu memilik mobil
sudah dianggap tajir, kaya, dan berkelas. Sementara Pak Diding sebagai dosen
muda sudah memilik mobil. Tentu ini menjadi perbincangan di kalangan dosen.
“Contohnya pas saya beli mobil itu. Banyak yang
ngomongin di kampus, yang beginilah, yang begitulah.”
Pak Diding memiliki mobil bukan untuk pamer, bukan
juga untuk alasan muluk-muluk.
“Waktu itu ‘kan lagi musim hujan, wah saya nggak
bisa ini kalau naik motor hujan-hujan. Nah, akhirnya saya beli mobil aja,
walaupun hujan tetep bisa kerja, nggak basah-basah.”
Mobil pertama itu memiliki banyak kenangan. Diantaranya
adalah cerita legendaris perjalanan pertama beliau dari Surabaya menuju Malang
menggunakan mobil. Mobil tersebut mogok karena kehabisan bensin. Dan setelah
kejadian itu Pak Diding mungkin menganggap Surabaya memang kota yang keras.
Entah mobil itu masih ada apa tidak. Saya yang
beberapa kali sempat berkunjung ke rumah beliau di kawasan Driyorejo sempat
melihat sejenis mobil klasik terparkir di teras yang disulap jadi garasi. Belum
jelas apakah benar itu mobil bersejarah itu atau bukan. Tapi yang pasti, tidak
bisa tidak, saya harus mengakui satu hal.
Cerita Pak Diding lebih klasik ketimbang mobil
apapun.
***
Catatan Penulis:
Tidak terasa waktu berlalu sedemikian cepat. Saya
masih semester awal saat tulisan ini ditulis. Sengaja tidak cepat-cepat dipublikasi.
Saya memilih menggodoknya dan menambahkan cerita-cerita lain tentang Pak
Diding. Salah satu mahasiswa kesayangannya, Tri Nanang dari PA 2013 juga sempat
‘didongengi’ beliau saat melakukan penelitian di Bandung. Ceritanya sama persis
dengan apa yang disampaikan beliau di Bali. Jadilah saya dan Tri kemudian juga
tertarik berburu kisah pelengkap. Saya ingin menggali lebih dalam mengenai Pak
Diding, lewat mungkin mahasiswa-mahasiswanya, atau bahkan keluarganya.
Tapi waktu, sekali lagi bergerak amat cepat. Pak
Diding kini sudah menjadi Ketua Jurusan Sastra di Jurusan Bahasa dan Sastra
Indonesia Unesa. Saya juga sudah mulai harus berpusing-ria dengan skripsi. Duh.
Obesesi saya untuk menggali kisah Pak Diding sepertinya harus diredam. Keputusan
awal untuk mengendapkannya dan berharap ini akan jadi sempurna mungkin belum
atau bahkan tidak akan pernah terwujud. Jadi, selagi ada waktu dan belum
dikhianati lupa, saya memutuskan untuk meluncurkan cerita ini. Setidaknya meski
belum sempurna, saya sempat menulis dan merekam secuil jejak Sang Begawan Tata
Bahasa ini.
Akhirnya, tulisan lama di tahun 2014 terpublikasi
juga. Terima kasih untuk Pak Diding dan rekan-rekan Sastra Indonesia 2013.
Tanpa kalian, tulisan ini tidak akan pernah ada.
WAKTU HIJAU DULU: BALI, 2014. BERSAMA PAK DIDING MINUS ARDAN HUDA DAN BEGUNDAL-BEGUNDAL YANG MENYINGKIR |
Ikutan nongkrong yuk , bisa nonbar bareng kawan n seru seruan bareng F4n588371n9 :)
ReplyDelete