Saturday, January 31, 2015

Epitaf Waktu (PA 2013): Epilog

Tulisan ini saya buat atas permohonan Tri Nanang BS, salah satu kawan baik di kelas Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia A 2013. Kelas PA membuat sebuah antologi menarik yang berisi puisi-puisi jujur bertajuk Epitaf Waktu. Ini saya tulis pukul 12 malam dimana besoknya sekitar pukul 7 buku ini dicetak. Kutipan tulisan ini tampil di sampul belakang antologi ini. Dan berikut adalah versi penuhnya, yang sekali lagi saya upload karena alasan klise: daripada mengendap di laptop.

Ada apa lagi dengan nelayan tongkol? Bagaimana bila kulit harimau asli Mesir lebih berkharisma dibanding Brave Mocca? Adakah yang lebih manis dibanding sekeping melon yang menempel indah dipangku purnama? Atau, bagaimana cara terbaik menyampaikan rindu bila puisi kini telah berdebu?

Mungkin, cara terbaik untuk menjawabnya adalah dengan mengendapkannya perlahan-lahan dalam pikiran, lalu kemudian membiarkanya hilang atau lepas entah kemana: layaknya balon-balon yang meledak tanpa sisa setelah mengendap pelan di ketinggian. Puisi-puisi ini adalah jawaban sekaligus pertanyaan. Pertanyaan sekaligus jawaban. Jawaban tanpa perlu pertanyaan. Pertanyaan tanpa perlu jawaban. Dan benar, butuh keberanian besar untuk memulai sebuah perjalanan dalam memaknai segala diksi dan menjadikannya seanggun melankoli.

Antologi Puisi PA 2013: Epitaf Waktu adalah perjalanan itu sendiri. Kita tak perlu memahami bagaimana cara instan untuk mengasah intelejensi demi menangkap setitik esensi. Kita juga tak harus diributkan untuk menggugah rasa ekletik demi menafsir frasa puitik. Seperti balon yang menguap begitu saja saat terlepas: menikmati puisi harusnya sesederhana itu. Kita hanya perlu menyiapkan sedikit senyum saat ‘I love you’ terucap dari lantai dua dan kemudian seisi mall menganggap kita korslet. Kita hanya perlu tulus mengaku kepada Rama bahwa kita bukanlah Sinta. Kita hanya perlu menerima saat manis permen karet berubah menjadi zonk. Atau mungkin, kita juga perlu sedikit cengeng saat menatap nisan diatas kain putih yang disebut mori. Perlahan, kita hanya perlu sadar, terus menapaki perjalanan.

Perjalanan itu sebenarnya telah dimulai tepat saat halaman pertama antologi ini dibuka. Dan, perjalanan itu tak akan pernah berhenti, sedekat apapun kita dengan halaman akhir. Epitaf waktu…

Epitaf Waktu
Bahasa dan Sastra Indonesia Unesa PA 2013
Informasi dan pemesanan: 0898-4373-663 (Tri Nanang BS)

No comments:

Post a Comment