Monday, January 12, 2015

Karena Hidup Serba Drama (Day #3)

Latihan drama semakin intens, dan sepertinya siap tidak siap saya akan tetap tampil.

Hari yang sibuk, terlepas dari tadi ketemuan terus sama mbak-mbak lucu, menumpahkan Cola di asrama putri waktu debat cowok gak jelas sampai ngeband pertama kali di 2015--setelah di tahun sebelumnya pun sebenarnya juarang sekali--dan masih dengan kebiasaan ngeband lama: gonta-ganti instrumen dan selalu ditutup saya sebagai vokal menye-menye, yang pasti drama dan latian masih jadi yang paling mengganjal. Oke saya gak mau menampilkan alasannya panjang lebar tapi yang pasti medioker macam saya yang disuruh main drama pertama kalinya sepanjang sejarah--sebagai peran utama--tentu saja grogi ndul! Tapi setelah jerit-jerit di studio saya bisa sedikit menumpahkan kegelisahan dan juga sepertinya mulai menyadari bahwa suara saya kok jadi enak sekali hahahahahahahahaha. Klise band yang saat latihan di studio gak ngerti mau ngapain karena baru pertama adalah jamming lagu-lagu J-Rocks dan untungnya bukan Bagindaz. Dan saya bisa memastikan suara saya lebih cempreng dari Iman--tapi juga lebih indah. Huahahaha.

Tak ada perkembangan mencolok dari latihan kecuali tentu saja memantapkan apa-apa yang telah dilatih kemarin. Saya yang berperan sebagai preman diharuskan bisa menampilkan sosok kejam, kasar dan suka marah. Disini saya gak bisa sama sekali marah tanpa alasan yang jelas. Memikirkan siapapun agar marah rasanya juga agak ganjil. Dengan bayangan orang macam begitu hanyalah Tio Pakusadewo, bos mafia di The Raid 2 Berandal, maka saya jadi punya referensi. Tapi untuk lebih marah-marah lagi, saya selalu percaya pepatah bahwa musik selalu bisa menyelamatkan apa saja. Disini awalnya saya memilih untuk mendengar musik-musik death metal, grindcore dan sejenisnya agar bisa memacu urat marah. Setan, iblis, cacing, anjing, bakar, bunuh, fuck you adalah hal lumrah yang bisa dijumpai saat dengar band beraliran itu. Tapi, entah karena kuping sudah terlalu tua untuk dengar metal, referensi musik saya beralih pada kolektif hip-hop provokatif Bandung, Homicide yang sukses membuat saya marah dengan sendirinya tanpa saya sadari. Dipancing dengan ungkapan provokatif dari Munir di awal lagu "Rima Ababil":

Mereka berebut kuasa//Mereka menenteng senjata//Mereka menembak rakyat//Tapi mereka bersembunyi di balik benteng kuasa.

Dan memang Homicide selalu punya semangat untuk membakar. Tambah lagi dosis di instrumentalia hitam "Terra Angkara" yang sungguh bikin merinding. Saya pernah mendengarkannya sambil baca kumpulan puisi Wiji Thukul "Para Jendral Marah-Marah", dan tak pernah ada kombinasi yang seseram ini dimana kamu langsung ingin melempari kantor polisi dengan tai, melempari gedung DPR dengan molotov. Wuiihhhhh! (Dan tentu saja saya tak sedangkal itu mencerna lirik musik, ini adalah tentang kesan saja secara sekilas). Jadi dalam drama ini saya agak sedikit terbantu. (Bersambung)

No comments:

Post a Comment